Kawasan Wisata Sejarah dan Budaya

Perkampungan Guntung

Sejarah Bontang tak bisa lepas dari historia panjang Kerajaan Kutai Kartanegara. Dahulu, sebelum menjadi kotamadya, Bontang adalah wilayah administratif Kabupaten Kutai. Cerita soal kota ini juga tak hanya dimulai sejak masa wilayah administratif. Jauh sebelumnya, telah banyak kisah tentang kota ini. Namun, sebagian besar cerita memang didominasi oleh jejak para pendatang, Kota berjuluk Taman ini memang dibentuk dari kumpulan para pendatang.

Diisi oleh sebagian besar pendatang, kota ini harus tetap memiliki budaya, yang tak mungkin lepas dari induknya. Hubungan erat antara Bontang dan Kutai bisa kita temukan di Kelurahan Guntung, Kecamatan Bontang Utara. Guntung merupakan cuilan budaya Kutai yang mengakar di Bontang. Catatan sejarah yang ditulis Sekretaris Lembaga Adat Kutai Guntung, Darmawi menyebutkan, Guntung berdiri sekira 1948 silam. Guntung sebelumnya merupakan perkampungan lama. Kawasan itu merupakan tempat bermukim para tetua Kutai, termasuk beberapa kerabat kesultanan.

Dahulu, ada beberapa perkampungan yang bersebelahan. Ada Lempake, Kanibungan, dan Pakuaji Status kampung itu sama, tempat berkumpulnya para penduduk asli. Penamaan kampung juga diambil dari nama tokoh yang dituakan untuk setiap perkampungan. Dari ketiganya, Lempake dan Kanibungan merupakan kampung dengan penduduk terbanyak, masing-masing diisi 16 orang.

Bontang berusaha menjaga warisan budaya Kutai itu. Di lokasi yang dulunya berdiri kampung Kanibungan dibangun Rumah Adat Kutai Guntung. Di dekat rumah adat itu ada kompleks pemakaman para leluhur Kutai. Juga ada sungai Kanibungan yang masih mengalir hingga kini. Rumah Adat Guntung berdiri di atas tanah seluas 2 hektare. Berdiri kokoh dengan ornamen kayu. Suasananya senyap.

Dihiasi rimbunan pohon di sekelilingnya. Sekira 150 meter, ada gapura berbahan kayu “Selamat Datang” yang menjadi penanda bangunan bersejarah itu. Masyarakat sekitar menyebut rumah kayu itu dengan Rumah Bentong. Seperti lazimnya rumah Kutai, bangunan itu berbentuk panggung. Seluruh dinding dilapisi kayu didominasi coklat gelap. Di bagian sudut atap rumah, terdapat ukiran dengan sentuhan khas Kutai. Dihadapannya, terdapat sebuah panggung adat yang cukup besar.

Menurut Ismail, Tokoh Adat Guntung, rumah adat itu pernah mengalami beberapa perubahan, namun tidak menghilangkan identitas asli Kutai. Misalnya kondisi rumah adat kini tak setinggi awal konstruksi. Bagian dasar rumah beberapa kali mengalami peninggian akibat terjangan banjir. Untuk halaman sekitar kompleks, yang awalnya berupa tanah liat kini sudah disemen.

Selain itu, di dalam rumah juga ditambah fasilitas seperti toilet, lapangan parkir, dan gazebo. Bahkan di satu titik, terdapat wifi corner yang semakin menambah kenyamanan para pengunjung.

Kawasan rumah adat itu dibangun pada 2008 silam. Semangat pembangunan itu adalah untuk memelihara ciri budaya lokal. Juga sebagai monumen peringatan untuk memahami jejak sejarah terbentuknya Kelurahan Guntung dan kebudayaan Kutai.

Dalam perkembangannya, selain menjadi pusat kebudayaan, rumah ada itu juga kerap difungsikan sebagai tempat pertemuan, musyawarah atau kegiatan warga sekitar. Lanjut Ismail, penggunaan rumah adat tidak terpaku pada kebudayaan Kutai semata. Pihak pengelola memfasilitasi penggunaan di luar kebudayaan Kutai. Namun dengan penggunaan yang jelas. Rumah adat itu, kata Ismail, adalah lambang keberagaman di Bontang.

“Sering menggelar beberapa kegiatan keagamaan seperti Maulid Nabi Muhammad SAW. Maulid itu berpadu dengan beberapa tradisi Kutai,” tambahnya.

Beberapa waktu lalu, Pemkot Bontang menunjuk Guntung dan Bontang Kuala sebagai pusat pengembangan budaya. Kedua daerah tersebut dianggap sebagai identitas budaya Bontang yang masih ada hingga saat ini.